Oleh : Dwi P Sugiarti
(Aktivis Muslimah Majalengka)
JABAR.UTUSANINDO.COM . OPINI – Ada gula ada semut. peribahasa ini agaknya cocok untuk menggambarkan kondisi hari ini dimana negara mulai “melirik” wakaf. Dana umat ini tentu terlihat sangat menggiurkan apalagi nilainya mencapai ratusan triliun rupiah.
Dilansir dari kompas.com, dalam peluncuran Gerakan Nasional Wakaf Uang (GNWU), Presiden Jokowi menyebut besarnya potensi wakaf di Indonesia (26/01/2021). “Potensi aset wakaf per tahun mencapai Rp 2.000 triliun, dan potensi wakaf uang bisa menembus angka Rp 188 triliun,” ujar PresidenJokowi saat peluncuran, Senin (25/1).
Melalui gerakan ini, Presiden Jokowi ingin memperluas penyaluran wakaf yang tidak lagi hanya sebatas ibadah. Harapannya, wakaf dapat dikembangkan untuk kegiatan sosial ekonomi, yang nantinya wakaf akan memberikan dampak signifikan bagi pengurangan kemiskinan dan ketimpangan sosial dalam masyarakat. Hal ini juga disampaikan oleh Menteri Keuangan, Sri Mulyani yang menyebut adanya potensi wakaf dalam mengatasi masalah kemiskinan.
Potensi Dana Umat Islam yang Menggiurkan
Sebelumnya, Wakil Presiden, Ma’ruf Amin pernah menginisiasi pelaksanaan Gerakan Nasional Wakaf Tunai (GNWT) pada Oktober 2020. Gerakan itu disebut bisa menjadi sumber pembiayaan baru untuk pembangunan dan kesejahteraan rakyat. Dana yang terkumpul melalui wakaf tunai tersebut, ditegaskan Ma’ruf, adalah dana yang bersifat abadi, atau dana abadi umat. Artinya bahwa jumlah pokoknya tidak boleh berkurang namun manfaatnya bisa terus dikembangkan melalui investasi.
Pada kesempatan yang sama, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati membidik dana segar dari instrumen yang dinamakan Cash Waqf Linked Sukuk atau dana abadi wakaf tunai. Sebab, potensinya besar karena Indonesia negara mayoritas muslim terbesar dengan jumlah penduduk muslim mencapai 87 persen dari total populasi 267 juta orang. Diharapkan, dana yang terkumpul dari semacam GNWT bisa dimanfaatkan untuk mengembangkan ekonomi dan keuangan syariah dalam rangka akselerasi pemulihan ekonomi nasional akibat pandemi Covid-19.
Dana Umat “Yes”, Pemberlakuan Syariat “No”.
Kondisi pandemi di negeri ini masih belum berujung. Ancaman resesi kini makin terasa dekat di depan mata. Pemerintah mencari bagaimana mengatasinya.
Saat ini, Pemerintah sudah kehabisan cara untuk menambah sumber pendapatan negara selain utang dan pajak. Melihat fakta ini, membidik dana abadi wakaf tentu menjadi alternatif dengan low risk (risiko rendah) dibandingkan harus menambah utang baru. Apalagi karakter masyarakat muslim itu sangat filantropis dan peduli terhadap sesama.
Kebijakan pemberdayaan dana sosial keagamaan satu ini menjadi alternatif bagi pemerintah. Pemerintah juga telah memasukan pengembangan kelembagaan ekonomi umat dalam program prioritas nasional pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024.
Memang benar bahwa ada peluang dari potensi umat Islam lewat dana wakaf. Tapi memanfaatkan kedermawanan umat Islam guna mengambil keuntungan atasnya, tentu menunjukkan bukti kegagalan pemerintah menyejahterakan rakyatnya. Seharusnya, negara yang bertanggung jawab sejahterakan rakyat, bukan sebaliknya rakyat yang diminta menopang perekonomian negara. Sehingga menjadi pertanyaan pemanfaatan dana wakaf ini untuk siapa?
Negara meminta rakyat untuk bersinergi dan saling peduli terhadap sesama agar mampu memulihkan kondisi pandemi hari ini dan mengentaskan ketimpangan dan kemiskinan. Di sisi lain aset negara yang berupa sumber daya alam dan minerba justru dijual negara atas nama investasi.
Apalagi wakaf yang menjadi bagian dari sistem ekonomi islam tidak bisa berdiri sendiri. Ia harus ditopang oleh sistem politik yang juga sesuai dengan paradigma islam. Di negeri ini, wacana penggalakan dana wakaf untuk investasi ini belumlah menunjukkan bahwa syariat Islam sudah mendapatkan “lampu hijau”.
Yang terjadi, apa saja yang menguntungkan dari syariat Islam contohnya kebaikan sistem ekonomi Islam akan diambil.
Di sisi lain, aspirasi umat yang menginginkan penerapan syariat secara kaffah justru dicap radikal dan dikriminalisasi. Tidak salah jika disebut bahwa agama hanya digunakan sebagai legitimasi untuk memuluskan berbagai kepentingan. Begitulah wajah dan watak kapitalisme. Mengambil keuntungan sebesar-besarnya dengan risiko sekecil mungkin.
Berharap pada kapitalisme tak akan bisa menyelesaikan kondisi ekonomi umat secara menyeluruh. Sebab bagi kapitalisme, kepentingan di atas segala-galanya. Ujungnya, rakyat justru yang menjadi korban.
Sehingga solusi untuk menyelesaikan resesi dan krisis ekonomi saat ini adalah dengan mengganti sistem hari ini. Karena Islam bukan ideologi prasmanan yang bisa seenaknya kita ambil ajaran yang kita sukai atau menguntungkan dan sesuai selera saja, maka jika ingin keluar dari resesi ekonomi dan menyolusi permasalahan ekonomi secara fundamental, tidak ada cara lain selain mengganti total paradigma sistem kapitalisme global dengan sistem Islam di segala bidang.
(red)
Discussion about this post